Pamarta.id – Akademisi Hukum Universitas Lampung, Yusdianto, menilai wajar bila masyarakat mempertanyakan rencana hibah Pemkot Bandar Lampung sebesar Rp60 miliar untuk pembangunan kantor Kejaksaan Tinggi (Kejati) Lampung.
Menurutnya, kritik publik adalah bagian dari kontrol sosial.
“Pertanyaan itu lumrah. Yang terpenting, apakah pemberian hibah itu dibolehkan secara hukum?” kata Yusdianto, dosen Fakultas Hukum Unila, kepada wartawan, pada Minggu (28/9/2025) kepada media pamarta.id.
Ia menjelaskan, Pasal 298 ayat (6) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 memberi dasar hukum bagi pemerintah daerah untuk memberikan hibah kepada instansi vertikal, sepanjang mendukung pelayanan publik.
Hal ini dipertegas lewat Permendagri Nomor 77 Tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah.
“Artinya, pemda diperbolehkan memberi dukungan jika memenuhi syarat: melalui skema hibah, tidak mengganggu belanja wajib daerah, mendapat persetujuan DPRD, serta dilaporkan ke Kemendagri,” ujarnya.
Menurut Yusdianto, hibah tidak langsung digelontorkan Rp60 miliar sekaligus, melainkan bertahap lewat skema multiyears sesuai kemampuan anggaran daerah.
Ia menegaskan pemberian hibah tidak otomatis menimbulkan konflik kepentingan.
“Independensi Kejati tidak akan terganggu. Justru dengan fasilitas yang memadai, aparat penegak hukum bisa fokus meningkatkan profesionalisme. Profesionalisme tinggi adalah benteng utama dari segala bentuk intervensi,” kata dia.
Lebih jauh, Yusdianto menyebut skema hibah dapat memperkuat sinergi Pemkot dan Kejati dalam tata kelola pemerintahan.
“Tujuannya sama, menciptakan pemerintahan yang baik dan penegakan hukum yang adil. Kolaborasi ini justru membuka ruang check and balance dalam pengawasan kepentingan publik,” katanya.
Ia menambahkan, di era keterbukaan informasi publik, kebijakan hibah akan meningkatkan kepercayaan masyarakat jika dijalankan dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas.
“Bantuan fisik bukan sekadar gedung, tapi investasi masa depan yang menciptakan lingkungan kerja kondusif,” kata Yusdianto, yang juga dikenal aktif dalam gerakan antikorupsi di Lampung.
Mengenai apakah lebih tepat membantu Kejari Bandar Lampung yang lebih dekat dengan Pemkot, Yusdianto menilai semua instansi vertikal sama-sama berhak sesuai kebutuhan.
“Dampak jangka pendeknya memperkuat sarana kerja Kejati, jangka menengah meningkatkan profesionalisme aparat, dan jangka panjangnya adalah kepercayaan publik terhadap pemerintah maupun aparat hukum,” ujarnya.
Ia menutup, otonomi daerah memang memberi ruang bagi pemda untuk mendukung pembangunan infrastruktur instansi vertikal melalui hibah, asalkan tetap mengedepankan pengawasan, akuntabilitas, dan evaluasi manfaat.
“Tujuannya agar praktik hibah tidak menggerus kemandirian fiskal maupun tujuan utama desentralisasi,” kata Yusdianto.