Pamarta.id – Pengamat Kebijakan Publik Universitas Lampung, Dedy Hermawan, menilai kritik terhadap rencana hibah Rp60 miliar Pemkot Bandar Lampung untuk pembangunan gedung Kejaksaan Tinggi (Kejati) Lampung merupakan bagian dari demokrasi.
Kritik itu muncul lewat surat terbuka yang ditulis penulis Juwendra Asdiansyah kepada Wali Kota Bandar Lampung.
“Surat terbuka itu adalah wujud kontrol publik. Namun, substansi kritik sebaiknya juga dilengkapi data, khususnya terkait program dan anggaran yang sudah ditetapkan dalam RKPD maupun APBD 2025,” kata Dedy pada Minggu, (28/9/2025) kepada media Pamarta.id.
Ia menjelaskan, Pemkot Bandar Lampung menetapkan APBD 2025 sebesar Rp2,5 triliun, yang sepenuhnya diarahkan untuk kepentingan masyarakat.
Pada pertengahan tahun, anggaran bertambah menjadi Rp2,55 triliun melalui APBD Perubahan. Tambahan ini difokuskan untuk memperkuat sektor pendidikan, kesehatan, infrastruktur, perlindungan sosial, hingga ekonomi rakyat.
Di bidang pendidikan, anggaran naik dari Rp625 miliar menjadi Rp637,5 miliar, dipakai untuk perbaikan ruang kelas, beasiswa siswa kurang mampu, hingga digitalisasi sekolah.
Di sektor kesehatan, dana bertambah dari Rp375 miliar menjadi Rp382,5 miliar, antara lain untuk memperluas puskesmas keliling, memperkuat posyandu, serta menambah obat dan vaksin.
Infrastruktur juga mendapat alokasi signifikan, dari Rp500 miliar menjadi Rp510 miliar, untuk jalan lingkungan, drainase, dan air bersih.
Perlindungan sosial meningkat dari Rp250 miliar menjadi Rp255 miliar dengan program bantuan langsung tunai, dukungan disabilitas, serta pelatihan kerja.
Sementara, anggaran ekonomi rakyat naik dari Rp200 miliar menjadi Rp204 miliar untuk modal usaha kecil, pelatihan digital UMKM, dan promosi wisata.
Dedy menekankan, anggaran perubahan juga menguatkan pelayanan publik digital, lingkungan hidup, serta sektor kebudayaan dan olahraga.
“Artinya, tidak sepenuhnya benar jika dikatakan Wali Kota mengabaikan kepentingan publik. Justru APBD 2025 diarahkan agar manfaat pembangunan lebih terasa langsung oleh masyarakat,” ujarnya.
Meski begitu, Dedy menilai kritik tetap perlu dihargai sebagai mekanisme check and balance.
“Kritik harus dipandang positif agar kebijakan bisa dievaluasi. Pada akhirnya, baik pemerintah maupun masyarakat memiliki tujuan yang sama, yaitu membangun kota dan meningkatkan kesejahteraan warganya,” kata dia.